Desa Damau terbentuk jauh sebelum tahun 1200 Masehi. Dibawah pimpinan Raja MAGUTTA putera Damau. Sejarah berlangsung terus menerus disusul dengan datangnya 5 (Lima) bangsawan di desa Damau. Bangsa yang menetap di Damau yakni di pulau Damau sampai meninggal dunia di Damau sampai jenasahnya disemayamkan dan dikuburkan bersama–sama dengan pahlawan-pahlawan bahkan bangsawan-bangsawan desa Damau ditempat yang bersejarah bernama GUA ARANDANGANNA. Sedangkan pekuburan di MALUTO dinamakan LUMENTEN yaitu tempat pekuburan orang-orang MALUKU yang meninggal dunia disana.
Dari kelima bangsa yang datang itu masing – masing :
Bangsa Portugis
Bangsa Inggris
Bangsa Spanyol
Bangsa Belanda
Bangsa Indonesia yaitu orang Maluku sebagai penunjuk jalan.
Bangsa Eropa yang datang di desa Damau pada tahun 1534 Masehi hendak bermaksud untuk berdagang dan menjual rempah-rempah dan juga membawa misi keagamaan. Kedatangan bangsa Eropa di Damau disambut baik oleh : RATU PAPUSSYA. Kemudian RATU PAPUSSYA menyuruh anak buanya untuk menjemput dipantai, sesudah dijemput lalu dibawanya untuk menghadap Ratu Papussya dan dimintai keterangan apa maksud dan tujuan mereka datang, sebab anak buahnya Ratu Papussya belum mendalami bahasa asing, setelah ditanya oleh bangsa Eropa dengan langtang ia menjawab : Damau dan untuk seterusnya tidak mengerti.
Desa Damau mempunyai pelabuhan laut yang dinamakan MALEBURREN, dengan artinya pertemuan dari lima bangsa. Desa Damau adalah sebuah desa yang menjadi tempat duduknya seorang Raja putera desa Damau yang bernama : MARADIA PONTO pada pangkalnya TOWO dan PADIAN. MARADIA PONTO adalah Raja yang pertama ditanah PORODISA, yang sekarang disebut Kepulauan Talaud yang kedudukanya di Damau sedangkan pada Pamelotan sebagai saudaranya Raja di Sawan Malengko yang sekarang disebut Mangaran.
MAGUTTA II kawin dengan RIWUWASING mendapatkan anak MARADIA PONTO . MARADIA PONTO kawin dengan WASILAWEWE putri dari Raja SIAU dan mendapatkan anak yang bernama : LOKONBANUA II DAN UNSONG BAHEWA. LOKON BANUA II kawin dengan istrinya MANGIMANDAMPEL.mendapatkan anak LOROSEGO. Perkawinan antara MARADIA PONTO dengan WASILAWEWE telah dianugrahi Tuhan dua orang putra yang bernama : LOKON BANUA II DAN UNSONG BAHEWA. UNSONG BAHEWA kawin dengan SG.GEPE mendapat anak RAJA SUMALLEA dan NG.NASAMBE. Nama Raja ini mulai diubah pada masa pemerintahan belanda yaitu mulai tahun 1602 pada zaman VOC nama Raja ini dirubah menjadi Ratu oleh Ratu WELHELMINA.
Ratu Sumallea kawin pertama dengan Saragen mendapat anak :
Ratu Gumansa di Damau
Ratu Bawanda di Akas
Ratu Sarai di Taduwale - Peret
Ratu Tainginan di Birang
Ratu Talarangen di Pantuge
Ratu Tadirian di Kabaruan
Sg.Nabeno di Nanusa
Ratu Sumallea kawin kedua dengan Woi Wintan mendapat anak :
Ratu Maiwuwun di Beo
Ratu Maminsurrung di Awit
Woulla di Bambung
Alo’oa di Alo
Parawo di Pulutan
Rago di Kalongan
Woi Wengke di Moronge – Salibabu
Pada mulanya Damau yang sebutanya pulau Damau menjadi tempat mendaratnya bangsa Eropa yang pertama dalam kurun waktu beberapa tahun lamanya kira – kira 13 tahun (1547) datanglah beberapa keluarga dari 4 bangsa yang berasal dari Bangsa Eropa dengan tak mengenal terik panas disiang hari dan embun dimalam hari serta tak mengenal diombang - ambingkan oleh arus dan gelombang. Keluarga berusaha dengan begitu jerih payah mencari tempat penguburan orang tua mereka, sambil mengikuti kompas perjalanan sehingga tidak hilang jalan dan akhirnya mereka temui.
Pulau Damau berubah menjadi pulau Kabaruan setelah diduduki oleh kepala Distrik Kejaguguan yang berkedudukan di Mangaran oleh : Jagugu Niklas Rarange Gumansalangi pada tahun 1889 diwaktu zaman Pemerintahan Belanda. Pada tahun 1932 datanglah seorang pastor yang berasal dari bangsa Belanda yang bernama pastor PANSLOBE bersama Guru E. Sandehang ke desa Damau tujuanya ke Gua Arandanganna dan diapit oleh kedua kepala kampung Damau dan Akas, kepala kampung Damau : SIMON TAASIHE BAWANGUN dan kepala kampung Akas : DEREK TAASIHE BAWANGUN menuju ke GUA ARANDANGANNA yang bersejarah ternyata bahwa masih banyak tulang-tulang bangsa Eropa yang berantakan dan peti-peti mayat yang berkelimpangan serta rambut-rambut yang masih utuh.
KEADAAN GEOGRAFISNYA
Desa Damau adalah salah satu desa yang berada di Provinsi Sulawesi Utara yang terletak geografisnya berada pada 60 LU dan 1270 BT. Pelabuhannya yang sangat menarik serta teluknya yang cukup lebar karena terletak diantara dua tanjung yang menyempit pelabuhan yaitu Tanjung Pallo dan Tanjung Turran, serta menghadap arah angin selatan.
Didepan Pelabuhan terdapat sebuah Pulau Karang yang disebut : NAPOMBALU yang terletak kurang lebih 8 mil dari tepi pantai, sehingga bertiup angin selatan keadaanya jadi ribut. Musim penghujan di Desa Damau atau pada umumnya di Pulau Kabaruan terjadi sekitar bulan: Januari, Februari, Mei, Juni, Nopember dan Desember.Sedangkan musim panas terjadi sekitar bulan: Maret, April, Juli, Agustus, September, dan Oktober. Keadaan ini menunjukkan hidup masyarakat yang cukup menggembirakan karena situasi alam dan potensi-potensi didalamnya mampu melayani masyarakat.
KEADAAN DEMOGRAFIS
Berdasarkan sejarah penduduk desa ini berasal dari beberapa bangsa yaitu :
Bangsa Portugis
Bangsa Inggris
Bangsa Spanyol
Bangsa Belanda
Bangsa Indonesia yaitu orang Maluku sebagai petunjuk jalan
Perkiraan penduduk desa pada waktu itu tidak dapat diketahui pasti, hanya dapat diperkirakan berdasarkan cerita orang tua-tua yang memberikan informasi dengan dibuktikan oleh sejarah desa Damau, yang terlibat dalam sengketa desa Bulude dan Mangaran. Dimana mereka orang Bulude lari ke Damau meminta bantuan katanya : Mereka diserang oleh orang Mangaran dengan jumlah prajurit 800 orang (diluar laki-laki cadangan, wanita dan anak – anak). Pada waktu orang Bulude lari ke Damau untuk memintah bantuan karena diserang oleh orang Mangaran dengan jumlah prajurit 800 orang, maka prajurit dari desa Damau sangat bangga dan mereka teringat kata gagasan perang dari Ratu Papussya ketika menyerang melawan Salibabu karena terdorong ucapan kata perang secara adat yang diucapkan oleh LUMARAHA dan RATU BAILAN ketika Ratu Papussya meminang kepada RARAETTARA. Prajurit yang kuat dan perkasa yang berasal dari desa Damau dari pada mati ditimpa wabah penyakit oleh Ratu Papussya lebih baik berperang melawan orang Salibabu.
Demikian juga kata RATU MALAE ketika memimpin prajurit dari Damau dan Akas, termasuk RATU TAMALOMASSA turut juga jadi korban akibat peperangan Bulude dan Mangaran. Kata gagasan dari RATU MALAE ketika melawan Mangaran untuk membela orang Bulude sebagaimana kata gagasan perang dari Ratu Papussya bahwa : Dari pada prajurit yang sebanyak ini telah meninggal dunia termasuk Ratu Tamalomassa maka kita harus melawan orang Mangaran demi keselamatan orang Bulude. Kata gagasan perang ini bila diterjemahkan dalam bahasa daerah demikian :
MAPPIANNE EHATTU RAMAU YAPPA SADAU HAITTA
MAPIANNE ERE MAHEETTA.
Pada waktu itu banyak desa tetangga tidak membuat pelanggaran terhadap desa Damau, karena memang takut akan prajurit dari Damau, yang sangat kuat dan berani serta jumlahnya sangat banyak.
Ungkapan Ratu Papussya diatas menurut orang beragama tidak pantas sebab terlalu tinggi dan angkuh jika ditinjau makna kalimatnya karena seakan-akan Tuhan tidak mempunyai kuasa penuh. Setelah usai sengketa Bulude dan Mangaran, mulai merasa lelah. Wabah penyakit cacar dan Influenza sehingga mengakibatkan banyak penduduk desa Damau yang meninggal dunia terutama keturunan prajurit sewaktu perang. Ratu Papussya adalah raja yang berani sewaktu melawan Mangaran ketika menyerang Bulude, maka gugur satu demi satu akibat wabah penyakit cacar yang sangat hebat meraja lelah dan semakin mengganas menyebabkan penduduk desa Damau 2/3 meninggal dunia.
Perkiraan penduduk desa Damau mulai dari Ratu Papussya sebagai berikut :
Tahun 1530 berjumlah 3000 jiwa
Tahun 1800 berjumlah 6000 jiwa
Tahun 1900 berjumlah 500 jiwa
Tahun 1940 berjumlah 700 jiwa
Tahun 1950 berjumlah 800 jiwa
Tahun 1960 berjumlah 900 jiwa
Tahun 1970 berjumlah 1010 jiwa
Tahun 1980 berjumlah 1130 jiwa
Tahun 1982 berjumlah 1183 jiwa
Tahun 1983 berjumlah 1195 jiwa
Ratu Papussya kawin dengan dengan Woi Raraentala putri dari Salibabu sebagai istri yang setia, dapat menunjang serta membantu tugas dan kerja dari suaminya terutama dalam melayani dan mengembangkan kearah kemajuan masyarakat demi terciptanya masyarakat adat dan agama.
Masuknya agama yang pertama di desa Damau yang disambut oleh Ratu Papussya adalah agama Katholik pada Tahun 1534 oleh pedagang bangsa Eropa yang dipimpin oleh ketiga Santu antaranya adalah ...
a. Santu Franciscus Xaverius dari Portugis
b. Santu Mariono dari Belanda
c. Santu Vlantein dari Spanyol
Santu Franciscus Xaverius menurut sejarah gereja dari Roma yang diperlihatkan oleh Bapak Uskup Manado Bapak Suwatan pada tanggal 25 April 1994 di Mangaran kepada H.M. BAWANGUN yang disaksikan oleh Pastor : SUMARANDAK, MSC dan tua-tua umat katholik bahwa Santu Franciscus Xaverius, mengembangkan agama katholik di Filipina, Jepang dan terakhir ke Tiongkok dan disanalah ia berpulang ke Rahmatullah. Dalam usia 46 tahun yaitu 1552. Dan umat yang ada di Damau itu dipercayakan kepada kedua Santu yaitu : Santu Mariono dan Santu Vlantein. Ketika kedua santu meninggal dunia maka agama katolik di Damau sudah tidak lagi berkembang dengan baik, atas kebijaksanaan dari Ratu Papussya dari pada umat kembali kemasa lampau atau masa yang tidak mengenal agama, maka Ratu Papussya ke Pulau Salibabu yaitu di desa Salibabu untuk mengambil pendeta : BOVENKAN yang mempermandikan umat katholik menjadi Kristen Protestan.
KEADAAN SOSIAL BUDAYA (ADAT ISTIADAT DI DESA DAMAU)
Dibawah tahun 1800 penduduk desa Damau kepercayaan ANIMISME masih kuat walaupun agama katolik sudah ada, dan agamapun belum dapat berperan dengan baik, sebab kepercayaan Animisme masih kuat. Mantra-mantra memegang peran dilubuk hati masyarakat. Agama hanya berperan dilingkungan Ratu. Seperti di desa Taduwale dan desa Peret. Karena pada waktu itu pimpinan Ratu di Damau sudah beralih tangan, maka oleh RATU BELANDA dan RATU INGGRIS dilantik : RATU BAWANGUN sebagai RATU’N’TAMPA (wilayah) dengan batas wilayahnya mulai dari : NALOWANGAN di desa PANGERAN s/d TATTANGNGANNAPUTTA di desa PANTUGE meliputi : 7 desa yaitu Desa Pangeran, desa Peret, desa Taduwale, desa Damau,desa Akas,desa Birang, dan desa Pantuge sebagai batas wilayahnya.
Pesuruh dari Raja Inggris bersama-sama dengan orang Belanda sebagai kaum penjajah datang ke tempat Istana Raja Bawangun untuk meminjam pakaian kerajaan dijadikan contoh untuk pembuatan pakaian Raja di Kerajaan Inggris dan sebagai penjamin apabila pakaian tidak dikembalikan maka harus ditinggalkan jaminan berupa piring besar yang dalam bahasa keluarga Raja Bawangun disebut “MALU’U”, dan sampai sekarang pakaian Raja Bawangun tidak kembali ke Kerajaan Bawangun sehingga piring tersebut menjadi kepunyaan keluarga Raja Bawangun.
Kedudukan RATU (raja) BAWANGUN sebagai Ratu’n Tampa(raja wilayah) berada di gunung NENAS atau wowon pesyangin, ialah didaratan tinggi yang terletak antara desa Taduwale dan desa Peret sekarang tempat itu dibuktikan dengan kubur dari RATU(raja) BAWANGUN dan 9 orang kemanakannya meninggal masih perawan. Pada tahun 1963 kubur itu masih utuh keasliannya ditandai dengan ukuran zaman Hindu ialah gambar binatang-binatang yang dianggap sakti seperti Buaya, Ular Naga yang menakjubkan hati bila memandangnya. Sayang pada tahun 1974 keasliannya hilang lenyap sebab dibongkar oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk benda-benda purbakala, hingga sekarang belum ditemukan barangnya. Sebelum orang Belanda datang di Pulau Kabaruan Ratulah yang berperan di desa ini. Semua kekuasaan ada ditangan Ratu. Dan semua keputusan hanya keluar dari mulut Ratu. Ratu menjaga ketat kerukunan masyarakat agar yang maha kuasa tidak mendatangakan malapetaka seperti : berkecamuk wabah penyakit, melanda kemarau panjang mengakibatkan air sungai kering, kekurangan bahan makanan, dan selalu menjadi perhatian Ratu jangan sampai terjadi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kehidupan.
Kehidupan sosial masyarakat serta kebudayaan yang sudah menjadi dasar dalam kehidupan masyarakat seperti : Berbuat cabul yang artinya : Berzinah orang lain punyai istri atau kata lainnya merusak rumah tangga orang lain, membunuh dengan doti (mistik) mencuri, menipu, dan lain-lain. Yang bertentangan dengan kebudayaan, dalam hal ini kepada siapa yang melanggar ketentuan sosial dan kebudayaan akan dikenakan sanksi :
1. Yang berbuat cabul atau zina kedua-duanya diikat dengan tali pada sebiji batu besar, lalu ditenggelamkan didasar laut dengan disaksikan oleh seluruh masyarakat desa agar kejahatannya tertutup oleh laut dan tidak berbau lagi dilingkungan masyarakat, juga supaya tidak diwariskan keluarga terlebih kepada anak dan cucu serta keturunannya.
2. Yang membunuh dengan mistik atau doti ia ditanam hidup-hidup dalam tanah agar perbuatannya jangan mencemarkan kebahagiaan masyarakat.
3. Yang mencuri atau menipu, hendaknya mengadakan pelakat (uar-uar) pada sepanjang jalan desa dengan digantungkan dilehernya barang curian/tipuan dengan perkataan : Jangan meniru perbuatan saya yang dapat menyusahkan sesamanya.
Di desa Damau hingga sekarang ini masih ada turunan yang tugasnya menyumbat sungai bila airnya kering, menghilang sampai ditanah dan dasar sungai akibat dilanda musim kemarau, setelah selesai dilaksanakannya tugas itu, mengalirlah air itu sebagaimana mestinya. Untuk mempermudah pengawasan Ratu, maka dalam tugasnya dibantu oleh dua orang pembantunya disebut : INANGU WANUA yang mengatur 8 Kepala Rukun Keluarga (suku) terdiri dari : 2 bagian yaitu :
B o w o n e :
1. Rukun Keluarga Sarorot – Papuantara di kepalai oleh Iskandar Tuage
2. Rukun Keluarga Bauda – Lawoan di kepalai oleh Dansi Bauda
3. Rukun Keluarga Mayanduga – Woinsema di kepalai oleh Musa Ansiga
4. Rukun Keluarga Maitulung – Mahana di kepalai oleh Simson Maitulung
B a l a n e :
1. Rukun Keluarga Riaghi – Wenti di kepalai oleh Sukarna Umbeang
2. Rukun Keluarga Rompido – Pitalare di kepalai oleh Celsius Waloni
3. Rukun Keluarga Laluraa – Wahing di kepalai oleh Welem Manaru
4. Rukun Keluarga Uman – Maludai di kepalai oleh Nimet Tindige
Tiap-tiap rukun keluarga beranggotakan menurut struktur keturunan leluhur sukunya seperti: 40, 50, 60, dan seterusnya. Dan dari 8 rukun keluarga semuanya itu dibawah koordinasi Ratu Banua. Ratum Banua di Desa Damau adalah keturunan dari RATU TAASIHE. Ratu Banua adalah kepala adat di desa.
STRUKTUR RATU BANUA DI DESA DAMAU – TADUWALE – PERET
1. Ratu Taasihe Ratu Banua desa Damau tahun 1800 s/d tahun 1842
2. Ratu Binilang Ratu Banua desa Damau tahun 1842 s/d tahun 1881
3. Dalendim Taasihe Bawangun Ratu Banua desa Damau, desa Taduwale dan desa Peret tahun 1882 s/d tahun 1910
4. Jakob Taasihe Bawangun Ratu Banua desa Damau, desa Taduwale dan desa Peret tahun 1910 s/d tahun 1938
5. Simon Taasihe Bawangun Ratu Banua desa Damau,desa Taduwale dan desa Peret tahun 1938 s/d tahun 1968
6. Derek Taasihe Bawangun Ratu Banua desa Damau,desa Taduwale dan desa Peret tahun 1968 s/d tahun 1988
Ket. Mulai Tahun 1950 memangku jabatan Ratu Banua sebagai perpanjangan tangan Ratu Banua Simon Taasihe Bawangun.
7. Julius Wuntu Taasihe Bawangun Ratu Banua desa Damau,desa Taduwale dan desa Peret tahun 1988 s/d tahun 2003
8. Hugu Murits Bawangun Ratu Banua desa Damau,desa Taduwale dan desa Peret tahun 2003 s/d tahun 2009
9. Arvan Hurumani Bawangun, SH,MH. Ratu Banua desa Damau,desa Taduwale dan desa Peret tahun 2011- s/d sekarang.
Inangngu Wanua senantiasa membuat perencanaan untuk diperhadapkan kepada Ratu Banua demi kesejahteraan rakyat dan masyarakat. Bila ada tetangga yang mengalami kesulitan hidup, secara ramai masyarakat menangani bersama. Komunikasi dan kerjasama antara desa tetangga berjalan lancar, ini menunjukkan bahwa kehidupan sosial budaya di desa Damau memegang peranan yang sangat tinggi dan tidak dapat diganggu oleh siapapun juga. Kalau ada seorang yang ingin mencoba kehidupan sosial di desa Damau, maka resikonya ditanggung sendiri, keadaan sosial budaya didesa secara turun-temurun tak musnah dari tengah masyarakat.
Inangngu Wanua atas perintah Ratu Banua senantiasa membuat perencanaan (bekerja sama dengan pemerintahan desa, didesa) untuk diperhadapkan kepada Ratum Banua demi kesejahteraan rakyatnya.
KEADAAN SEKOLAH
SEJARAH SINGKAT SEKOLAH
Pada abad ke XV dengan datangnya 5 bangsa di desa Damau yang mereka beri nama desa Damau sesuai dengan peta pada waktu pemerintahan Belanda dengan Ratunya ialah RATU WELHELMINA. Desa Damau dengan pelabuhannya bernama : MALLEBUREN. Kedatangan bangsa Eropa di desa Damau, pada saat itu mulailah agama dan pendidikan sehingga masyarakat Damau telah mengenal pendidikan.
Dalam hal ini pendidikan dimulai pada tahun 1500 Masehi. Pada saat orang-orang Portugis mendirikan agama katolik dibawah pimpinan : Santu Franciscus Xaverius, Santu Mariono, Santu Vlantein pada tahun 1534. Setelah beberapa tahun agama berkembang, segera mereka mengambil kebijaksanaan untuk mendirikan Gereja Katolik sebagai tempat peribadatan mereka yang terletak pada perempatan jalan damau saat ini. Pendirian gereja didasarkan pada keseluruhan rakyat desa Damau telah menggabungkan dirinya dalam agama katolik.
Desa Damau dibawah pimpinan pemerintahan Ratu Papussya tetapi tak lama kemudian meninggalkan kedua Sang Santu. Dengan meninggalnya kedua sang santu, menghilanglah agama katolik dari pandangan masyarakat. Kemudian mereka berunding pentua adat maka hasil musyawara adat akhirnya Ratu Papussya pergi ke Salibabu untuk menjemput Pendeta Bovenkan pendeta Protestan di Salibabu, agar mempermandikan masyarakat Damau berjumlah 70 rumah tangga untuk masuk agama protestan secara resmi. Pendidikan yang dipimpin oleh Pendeta Bovenkan dari tanah Belanda pada tahun 1559. Sesudah Pendeta Bovenkan diteruskan oleh : H. J . STOKEN yang beristrikan ADELEIDE (isterinya sampai meninggal dunia tetap tinggal dijakarta).
Sesudah Stoken diganti oleh SWAN. Setelah Swan meninggal dunia, lalu diganti oleh SYBOL dari desa Kiama, VANDEN BECK di Lirung, sesudah itu dilanjutkan oleh BRILLAM TOCHMAN di Beo GUNTHER di Mangaran, dan RIGKTER di Essang. Pendeta VANDEN BECK kepada pendeta KAYMADEMA. Pada tahun 1914 – 1919 mulailah pendidikan yang dipimpin oleh JOHANIS ASUMBAK dari salibabu sebagai Kepala Sekolah. Setelah Johanis Asumbak, lalu diganti oleh : ANTHONIUS GEDOAN dari Bulude sebagai Kepala Sekolah (1919 – 1922). Anthonius Gedoan kepada penggantinya : SOLEMAN ELUNGAN dari Mangaran (1922 – 1925). Soleman Elungan di ganti oleh : HERMANUS ULAEN dari Bulude (1925 – 1929) Hermanus Ulaen kepada Guru : PHILIPUS ESSING dari Bulude sebagai pengganti kepala Sekolah (1929 – 1933) Kepala Sekolah : JOHANIS TAREMPAS dari Bulude ( 1933 – 1938 ) dan dilanjutkan oleh : JOHANIS GUMOLUNG dari Sereh ( 1938 – 1941 ). Johanis Gumolung kepada penggantinya : WELEM BAHEWA dari Sereh ( 1941 – 1951 ). Guru JOSIAS TAASIHE diganti oleh RUBEN WILLIAM WULLAGE dari Moronge ( 1951 – 1959 ) dari Ruben William Wullage kepada penggantinya ALBER AMISI dari Moronge ( 1960 – 1965 ) dari Alber Amisi diganti oleh : JEFTA MANARU ( 1966 – 1978 ) dari Jefta Manaru kepada penggantinya : OLDEN BAWANGUN dari Damau ( 1978 – 1999 ) pengantinya HUGU MURITS BAWANGUN dari Damau (1999-2007) Penggantingnya ALPRINA MANOI dari Kabaruan (2007-………) pengantingya MAKLON TATEDIL dari Akas ( 2009 s/d sekarang).
dilihat lagi, silsilah dari Lokombanua dan Maradia Pontoh. Kebanyakan silsilah menegaskan bahwa Lokombanua bukan anak tapi ayah mertua dari Maradia Pontoh. lalu, Unsong bahewa itu buah perkawinan antara Maradia Pontoh dan Wasilawewe
BalasHapus